13 Taruna Akpol yang Terbukti Lakukan Penganiayaan Dipecat dan Diproses Hukum Secara Terbuka

13 Taruna Akpol yang Terbukti Lakukan Penganiayaan Dipecat dan Diproses Hukum Secara Terbuka
Sidang penganiayaan taruna Akpol di Pengadilan Negeri Semarang, Kamis (2/11/2017) (KOMPAS.com/NAZAR NURDIN)

JAKARTA,(PAB)-----

Selama ini, penanganan kasus penganiayaan di AKPOL cenderung dilakukan secara tertutup namun berbeda dalam kasus penganiayaan yang dilakukan taruna Akpol yang menyebabkan tewasnya taruna junior di lembaga pendidikan kepolisian baru- baru ini.

"Sikap tegas ini sebuah kemajuan. Selama ini penanganan kasus di Akpol cenderung tertutup. Baru kali ini penanganan kasus di Akpol sangat transparan," tutur Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, Selasa (12/2/2019).

Neta S Pane menyebut, baru kali ini taruna Akpol sebanyak itu dipecat akibat melakukan penyiksaan yang menyebabkan kematian, meski sempat menggantung sejak 2017.

Langkah pemecatan diambil setelah digelar sidang Dewan Akademik  (Wanak) Akpol yang dipimpin Gubernur Akpol Irjen Rycko Amelza Dahniel dan dihadiri Kalemdikpol Arief Sulistyanto.

Kasus penganiayaan yang menyebabkan terbunuhnya Brigadir Dua Taruna M Adam pada Mei 2017 itu, melibatkan 14 taruna Akpol.

Sebelumnya pada Juli 2018, seorang taruna telah dipecat melalui sidang Wanak.

Neta mengatakan, dari 13 taruna tersebut, terdapat dua anak jenderal, tujuh anak kombes dan empat anak warga sipil sehingga ia mengapresiasi ketegasan Polri dalam mengambil keputusan itu.

Sidang Wanak Akpol terpaksa dilakukan selama dua hari, meski Mahkamah Agung sudah mengeluarkan keputusan tetap terhadap kasus itu.

Neta menyebut, alotnya keputusan itu karena adanya usulan hanya empat taruna yang dipecat sehingga memunculkan polemik.

"Bagaimanapun Akpol adalah lembaga pendidikan dan candradimuka tempat melahirkan kader kader Polri yang profesional, humanis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM," kata Neta.

Ajukan Keberatan

Dilansir Antara, Sebelumnya diberitakan, sembilan dari 14 terdakwa penganiayaan taruna Akpol mengajukan nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Senin (6/11/2017).

Dalam pledoinya, mereka meminta agar hakim membebaskan dari dakwaan dan tuntutan hukum.

Kuasa hukum terdakwa Junaedi mengatakan, kliennya tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan pasal 170 ayat 1 KUHP.

Seluruh unsur dalam pasal yang didakwakan jaksa dinilai tidak cukup kuat untuk terjadinya perbuatan pidana.

Menurut dia, para terdakwa diproses di muka hukum atas laporan polisi tertanggal 17 Mei 2017.

Pihak pelapor yaitu pembina taruna.

Ia melaporkan adanya sebuah tindak pidana berupa kekerasan yang menyebabkan kematian Brigdatar Muhammad Adam, dengan terlapor salah satu taruna tingkat III dalam berkas terpisah.

Namun dalam perkara a quo, tidak ada korban yang meninggal.

"Antara para terdakwa juga tidak ada kerja sama, sehingga tidak ada unsur kekerasan dengan tenaga bersama," ujar Junaedi.

Junaedi membantah unsur kesengajaan dan dengan tenaga bersama dalam pasal tersebut.

Menurut dia, terdakwa tidak melakukan pemukulan secara serentak, dan tidak pula dilakukan secara bersama-sama.

Kegiatan pembinaan dilakukan face to face atau tidak dilakukan dengan tenaga bersama.

Pembinaan yang dilakukan, dengan cara terukur dan tidak menyakiti.

"Kalau iya (masuk pidana) itu tidak pidana ringan atau tipiring. Penganiayaan ringan, tapi berdasar asas ultrapetita terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas tindak pidana yang tidak dilakukannya," tambahnya.

Selain itu, 21 taruna tingkat II yang diposisikan sebagai korban juga tidak melaporkan kekerasan ke pihak kepolisian.

Karena itu, penasehat hukum mempertanyakan dasar pengusutan atas kliennya.

"Lalu atas dasar apa dilaporkan. 21 taruna itu mengaku bukan sebagai korban, tapi kegiatan itu bermanfaat sebagai bekal di kemudian hari menjadi polisi," tambahnya seperti ditulis Kompas.com.

Tim penasehat hukum juga memastikan kekerasan terhadap Brigdatar Muhammad Adam hingga ia meninggal dunia tidak dilakukan oleh kliennya.

"Ibu kandung (Adam) sudah memaafkan perbuatan taruna 3 dan tidak ingin taruna dihukum, tapi menyerahkannya ke Akpol tergantung dengan tingkat kesalahan," ucapnya.

Sementara itu, kuasa hukum terdakwa Joshua Evan Dwitya Pabisa, Broto Hastono menambahkan, tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta hukuman 1,5 tahun tidak realistis.

Jaksa dinilai terlalu emosional dan memaksakan pendapat hukumnya.

"Tuntutan tinggi dipaksakan bahwa seolah terdakwa itu pelakunya. Apakah mereka lakukan perbuatan sesuai tuntutan atau tidak," ujarnya di depan hakim Casmaya.

Menurut dia, para terdakwa tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.

Sebab terdakwa tidak ada niat jahat.

"Terdakwa merupakan siswa terpilih dimana kariernya harus diselamatkan. Pemberitaan yang berkembang tidak benar dan merusak nama baik terdakwa. Menghukum terdakwa berarti memutus pendidikan terdakwa," tuturnya.

"Minta dibebaskan dan dikembalikan lagi harkat dan martabatnya," pintanya lagi.

Sembilan terdakwa yang mengajukan pledoi itu antara lain Joshua Evan Dwitya Pabisa, Reza Ananta Pribadi, Indra zulkifli Pratama Ruray, Praja Dwi Sutrisno, Aditia Khaimara Urfan, Chikitha Alviano Eka Wardoyo, Rion Kurnianto, Erik Aprilyanto, dan Hery Avianto. 

Kuota Khusus Anak Perwira

Sementara itu, tahun 2017 lalu, penerimaan Taruna Akademi Kepolisia (AKPOL) pernah menjadi masalah. 

Masalah itu adalah dugaan dan kecurigaan adanya kuota khusus anak perwira dalam seleksi penerimaan AKPOL.

Seperti dilansir kompas.com, permasalahan penerimaan siswa baru Akademi Kepolisian (Akpol) pernah terjadi di Polda Jawa Barat dan Polda Sumatera utara. 

Saat itu terungkap ada kuota khusus di luar kuota reguler untuk mengikuti seleksi Akpol tingkat pusat.

Semestinya, kuota Akpol Polda Jawa Barat hanya 14 calon taruna. Namun, ada satu calon taruna lagi di peringkat 26 yang ikut jadi peserta seleksi.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri (saat itu), Kombes Pol Martinus Sitompul, membenarkan adanya kuota khusus tersebut.

Namun, ia memastikan bahwa pemilihan calon taruna di luar kuota reguler itu bukan karena orang tuanya pejabat di Polda Sumut.

"Rekrutmen Akpol tidak ada kolusi atau penyalahgunaan yang dilakukan. Memang ada satu penambahan sesuai dengan talent scouting yang ada karena kemampuan yang ada, dia berprestasi," ujar Martinus di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat (14/7/2017).

Martinus mengatakan, Mabes Polri menyediakan kuota khusus di luar kuota reguler bagi calon taruna yang memiliki kemampuan khusus di bidang tertentu.

Calon taruna tersebut diusulkan oleh Polda, kemudian diikutkan seleksi tingkat pusat sama dengan yang lainnya.

Dengan demikian, belum tentu calon taruna tersebut lolos tahapan selanjutnya hanya karena masuk kuota khusus.

"Talent scouting, misalnya, dalam satu sisi dia kurang, misal nilai kesehatannya kurang. Itu yang buat ranking dia jatuh. Tapi prestasinya bagus," kata Martinus.

Tak hanya di Polda Sumut, di Polda Jawa Barat juga ada calon taruna yang masuk program talent scouting sebanyak empat orang.

Dilansir dari Tribunnews.com, para calon taruna Akpol keberatan karena kuota tambahan ini diberikan kepada anak yang saat mengikuti ujian masuk berada pada urutan ke-26. Padahal masih banyak urutan yang nilainya lebih bagus.

Kasubbid Penmas Bid Humas Polda Sumut (saat itu), AKBP MP Nainggolan, membenarkan bahwa ada satu orang yang ditunjuk langsung oleh Mabes Polri ikut diberangkatkan dari Sumut.

Ia memastikan peserta penunjukan langsung tersebut adalah anak dari Karo Ops Polda Sumut Kombes Pol Iman Prakoso.

"Iya, anak Karo Ops Polda Sumut. Namun itu penunjukan dari Mabes Polri, bukan dari Polda Sumut. Penunjukannya itu subjektif, kami juga tidak tahu apa alasan penunjukan itu. Bisa saja ada dari polda lain yang kuota tidak terpakai. Yang jelas, mereka ini juga belum pasti lulus, mereka harus ujian lagi," ujar Nainggolan.(*)

Berita Lainnya

Index